PILARMEDIA.ID, AUSTRIA — Jenderal asal Sulawesi Selatan Brigjen Pol. Dr. dr. Farid Amansyah, SpPD Finasim tampil di Forum PBB pada sidang ke 67 United Nations Commision On Narcotic Drugs (CND) di Vienna Austria yang berlangsung 14 hingga 19 Maret 2024.
Pada pertemuan sesi ke 67 CND tahun 2024 salah satu event yang diikuti oleh delegasi Indonesia adalah sessi bertemakan “On the road of to 2029 : how to accelarate our effort to ensure safe accsess to essential controlled medicines for all patient in need while ensuring rational use and preventing Diversion”.
Pertemuan ini berlangsung disela sidang United Nations On Drugs and Crime (UNODC)yang diselenggarakan oleh pemerintah Belgia dengan dukungan Australia, Colombia, El Salvador, Indonesia Jepang, Switzerland, United State of America, Uni Eropa dan negara-negara anggotanya, UNODC, WHO, INCB (International Narcotics Control Board), UICC (The Union For International Cancer Control) dan IAHPC (International Association For Hospice and Palliative Care).
Deputi Perdana Menteri Belgia Petra De Sutter yangg juga memimpin rapat dalam sesi ini menyerukan perlunya upaya akselerasi untuk memastikan akses Controlled Medicine yang aman untuk semua penderita di samping memastikan penggunaan yang rasional dan pencegahan penyalahgunaannya.
Delegasi Indonesia yang diwakili oleh Direktur Pascarehabilitasi Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, Brigadir Jenderal polisi Dr.dr.Farid Amansyah, SpPD, Finasim membawakan presentasi yang berjudul Ensuring Access to Controlled Medicine While Preventing Diversion and Non Medical Use.
Dalam kesempatan itu Indonesia mempresentasikan hasil studi yang telah dilakukan untuk memastikan kebijakan penggunaaan dan rantai stock yang aman.
Pada pertemuan ini Indonesia mempresentasikan pandangannya terhadap obat-obat terkontrol berbasis penelitian yang telah dilakukan.
“Penelitian yang dilaksanakan bertujuan untuk mereview dan menganalisa kebijakan dan regulasi terhadap penggunaan obat-obat terkontrol terhadap kesenjangan antara penggunaan yang rasional dengan penyalahgunaannya dan pengunaaan obat obat tersebut di luar kepentingan medis,” katanya Minggu (17/3/2024).
Jenderal berpangkat bintang satu itu menerangkan. Indonesia juga mengangkat isu yang berhubungan dengan rantai pasokan obat-obat yang terkontrol. Berbagai tantangan penggunaan obat-obat terkontrol yang saat ini dihadapi oleh institusi dan pemerintah Indonesia baik oleh BNN, Kementerian Kesehatan serta BPOM seperti misalnya masih di diskusikannya regulasi yang berhubungan dengan penggunaan obat-obat tersebut pada perawatan paliatif di pusat-pusat kesehatan masyarakat, serta belum adanya proteksi yang legal untuk pekerja pada tempat tersebut.
“Tantangan bagi farmasi di Indonesia yaitu penegakan hukum yang keras terhadap obat-obat yang terkontrol menyebabkan apoteker enggan menyiapkan obat-obat tersebut di pusat-pusat kesehatan masyarakat terutama puskesmas dan juga adanya potensi penyalahgunaan seperti pada pasien dan resep yang palsu.Sedangkan tantangan bagi tenaga kesehatan dan sistem layanan kesehatan yaitu ketersediaan IMR (morfin immediate release ) serta ketersediaan obat-obat kontrol medicine di Fasilitas Kesehatan primer, kesenjangan juga terjadi pada tataran regulasi Jaminan Kesehatan Nasional dengan fakta di lapangan serta masih adanya kesenjangan budaya dan stigma masyarakat terhadap penggunaan opioid untuk tujuan medis,” bebernya.
dr. Farid Amansyah menambahkan, sebagai upaya menghadapi tantangan tersebut serta untuk menjamin ketersediaan obat-obat terkontrol di Fasilitas Kesehatan agar pada pengawasannya tidak terlalu menekankan sanksi pada saat pengawasan. Namun lebih menekankan pada aspek pembinaan tenaga kesehatan juga agar penggunaan obat-onat terkontrol pada paliatif care agar koordinasi antar tenaga kesehatan sangat diperlukan.
“Kami merekomendasikan kebijakan dibentuknya tim paliatif yang terdiri dari dokter, dokter spesialis, farmasi dan tenaga kesehatan yang terproteksi secara legal namun tetap dapat memberikannya dengan pertimbangan medis pada penderita yang membutuhkan bahkan di fasilitas kesehatan tingkat primer. Sedangkan untuk menjamin rantai pasokan maka perlu memperkuat kemitraan antara otoritas kesehatan, penegakan hukum, menguatkan penggunaa teknologi digital serta untuk memberantas peredaran gelap narkoba serta mengembangkan sistem informasi dan database yang terintegrasi antara fasilitas kesehatan,” jelasnya.