Oleh:
Dr. Ade Ferry Afrisal, S.H.,M.Sc. (Dosen Fisip Unibos)
Beberapa minggu belakangan publik di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, ramai membicarakan lonjakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang membuat banyak warga kelimpungan. Kenaikan yang disebut mencapai ratusan persen itu memicu gelombang protes, hingga Bupati Pati turun tangan meninjau kembali penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dan skema pembayarannya.
Kasus Pati memberi cermin penting, penyesuaian NJOP yang bertujuan mendekati harga pasar bisa
berbalik menjadi krisis kepercayaan bila waktu, metode, dan komunikasi publiknya tidak tepat. Kini, gema serupa terdengar di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Tagihan PBB-P2 tahun 2025 datang dengan angka yang tak sedikit warga anggap “melonjak drastis”.
Hal itu memunculkan pertanyaan: apakah Bone akan belajar dari Pati, atau mengulang pola yang sama?
Agustus 2025, Bone disibukkan oleh obrolan yang sama: tagihan PBB-P2 melonjak. Bagi sebagian warga, lembar Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) PBB-P2 tahun ini bukan sekadar kewajiban rutin, melainkan sumber kecemasan.
Di lapangan, terdengar dua narasi yang beradu. Pemerintah daerah menyebut lonjakan terjadi karea penyesuaian NJOP berbasis Zona Nilai Tanah (ZNT) Badan Pertanahan Nasional (BPN). Alasan yang disampaikan agar NJOP mendekati harga pasar, mengikuti rekomendasi lembaga pengawas seperti BPK maupun KPK, serta memperbaiki akurasi data pajak.
Memang terdengar masuk akal di atas kertas. Namun, bagi warga, pertanyaan yang lebih penting muncul “Kenapa kenaikannya terasa tiba-tiba?”
Mengurai permasalahan
Pertama, mari jernihkan angka yang beredar. Pemerintah Kabupaten Bone menyatakan target penerimaan PBB-P2 2025 sekitar Rp 50 miliar, naik dari sekitar Rp 30 miliar pada 2024 (kenaikan ±65%). Pemda menegaskan ini bukan kenaikan tarif, melainkan dampak penyesuaian ZNT, bahkan disebut sekitar 25% objek tidak mengalami penyesuaian. Di sisi lain, isu “naik 300%” bergulir di ruang publik dan memicu aksi protes. Narasi 65% vs 300% ini mencerminkan jurang komunikasi yang perlu dijembatani.
Kedua, kita perlu rujukan hukum yang jelas agar polemik ini tidak semata emosional. Perda Kabupaten Bone No. 1 Tahun 2024 mengatur tiga hal kunci. (i) Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP; (ii) Pemda dapat mengatur persentase NJOP yang dikenakan (assessment ratio) 20–100% setelah dikurangi NJOP Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) Rp10 juta; (iii) “Saat yang menentukan” untuk menghitung PBB-P2 adalah keadaan objek pada 1 Januari tahun pajak berjalan.
Tiga titik ini penting untuk membaca kebijakan dengan adil. Apa implikasinya? Penyesuaian ZNT sah sebagai rujukan teknis untuk memperbarui NJOP. Namun, jika penetapan NJOP berbasis ZNT baru terjadi setelah 1 Januari 2025lalu digunakan menghitung SPPT 2025, maka kebijakan itu terantuk pada ketentuan cut-off 1 Januari.
Ini bukan hanya soal “1 Januari” melainkan soal kepastian hukum: aturan main tidak diubah di tengah pertandingan. Kepatuhan pada cut-off menjaga prediktabilitas bagi wajib pajak sekaligus mengurangi sengketa.
Di titik inilah komunikasi publik menentukan. Di satu sisi, Pemda berkepentingan mengejar akurasi nilai dan memperkuat PAD; di sisi lain, warga butuh waktu transisi agar mampu menyesuaikan arus kas rumah tangga dan usaha kecil. Maka, pertanyaannya bukan apakah NJOP harus disesuaikan?, melainkan bagaimana dan kapan penyesuaian itu diberlakukan?”
Tawaran solusi
Solusi yang tersedia di Perda Kabupaten Bone No. 1 Tahun 2024 tentang Pajak dan Retribusi Daerah sesungguhnya cukup komplet.
Pertama, jika penetapan NJOP/ZNT baru terbit setelah 1 Januari, maka jadwalkan efektivitas berlakutnya pada tahun pajak berikutnya. Ini memberi sinyal keadilan (fairness), menghindari keberatan massal, dan tetap konsisten dengan cut-off 1 Januari.
Kedua, gunakan assessment ratio untuk melakukan penahapan misalnya 2–3 tahun. Dengan rentang 20–100%, Pemda bisa, misalnya menerapkan 40% pada tahun pertama, 70% tahun kedua, dan 100% tahun ketiga dengan memberi waktu bagi warga dan pelaku usaha menyesuaikan perencanaan keuangan (tentunya harus dengan kajian yang mendalam dan melibatkan berbagi pihak).
Ketiga, perluas pengurangan pajak bagi kelompok rentan. Perda membuka ruang kebijakan pengurangan/kemudahan yang bisa diturunkan dalam Peraturan Bupati; misalnya dengan otomatisasi pengurangan berbasis data kependudukan dan sosial (pensiunan, petani kecil, pelaku UMKM, penyandang disabilitas), sehingga warga tidak terbebani birokrasi panjang.
Keempat, bangun posko/loket koreksi SPPT; loket fisik dan kanal daring untuk pembetulan data fisik (luas, kelas, pemanfaatan) sekaligus menyalurkan permohonan pengurangan dengan standar waktu dan kualitas layanan yang jelas. Langkah ini bukan hanya administratif; ia meredam gejolak sosial karena warga melihat jalur perbaikan yang nyata.
Kelima, lakukan transparansi secara proaktif. Publikasikan peta ZNT (berbasis data BPN), bagikan simulasi sebelum–sesudah, dan sediakan kalkulator PBB daring. Narasi pemerintah bahwa penyesuaian berasal dari ZNT BPN dan bukan kenaikan tarif perlu didukung bukti yang mudah dicek publik. Di tengah kabar tentang “kenaikan 300%”, Pemda telah membantah dan menegaskan angka 65% sebagai gambaran makro.
Transparansi data akan memperkecil jurang persepsi itu dan menumbuhkan kepercayaan terhadap pemerintah. Apakah pendekatan ini akan mengorbankan penerimaan daerah? Tidak selalu. Justru dengan transisi yang tertata, realisasi penerimaan cenderung lebih stabil.
Kenaikan target yang realistis, ditopang penilaian yang akurat dan kepatuhan sukarela, lebih sehat daripada lonjakan sesaat yang memicu penolakan. Ingat, kepatuhan pajak sangatdipengaruhi persepsi keadilan. Kebijakan yang adil, jelas, dan dipatuhi prosedurnya akan memperluas basis kepatuhan dan, pada akhirnya, memperkuat PAD.
Pada akhirnya, perdebatan PBB-P2 Bone 2025 mengajarkan dua hal. Pertama, data dan aturan harus berjalan seiring. Pemerintah boleh memutakhirkan nilai tanah agar mendekati pasar, tetapi harus tunduk pada ketentuan cut-off 1 Januari. Kedua, komunikasi publik yang empatik akan mereduksi jurang persepsi antara “kenaikan 65%” versi pemerintah dan “kenaikan 300%” versi sebagian warga.
Dengan kombinasi penahapan, perlindungan kelompok rentan, dan transparansi penuh, Bone bisa mencapai keseimbangan baru yaitu PAD yang kuat tanpa mengorbankan rasa keadilan. Sebagaimana kutipan dalam administrasi perpajakan “In taxation, fairness is not a luxury; it is the very foundation of compliance” yang bermakna Keadilan dalam perpajakan bukanlah kemewahan yang bisa ditambahkan jika mau, melainkan syarat mutlak agar warga mau patuh membayar pajak.
Mematuhi batas waktu 1 Januari bukan sekadar mengikuti teks peraturan, melainkan menjaga rasa keadilan dan kepercayaan publik. Pajak akan terasa ringan jika dibayar dengan rasa rela, dan rasa rela lahir dari kebijakan yang adil, transparan, dan tepat waktu.